Forkam-HL Sultra Laporkan Tiga Perusahaan Raksasa di Konut, Diduga Menambang Ilegal
Penulis: Aripin Lapotende
JAKARTA, TRIBUNUTARA.COM – Penambangan tanpa izin (Peti) beserta dampaknya, terus menjadi perhatian Forum Kajian Masyarakat Hukum dan Lingkungan Sulawesi Tenggara (Forkam-HL Sultra).
Forkam HL Sultra mencatat, lebih dari ratusan lokasi Peti tersebar di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Lokasi Peti juga berada pada penambangan nikel di wilayah IUP Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Antam UBPN Molawe.
“Peti adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan dan perambahan kawasan hutan, serta kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat,” ungkap Penasehat Forkam HL Sultra, Iqbal Jumat (7/10/2022).
Sindikat penambangan ilegal ini, terjadi di IUP PT Antam Tbk, diduga dilakukan oleh tiga raksasa, pertama PT. Putra Jaya Perkasa (PJP), bekerja di dua titik eks PT Wanagon dan PT Andalan, kedua, PT Batam Trading Company (BTC) bekerja di 11 titik lokasi yang berada di eks PT Wanagon dan eks PT Happard, ketiga, PT Sulawesi Hasta Finma (SHF) bekerja di eks PT JAP dan eks PT Wanagon.
Ketiga perusahaan raksasa itu, resmi dilaporkan oleh Forkam-HL Sultra ke Mabes Polri dan KLHK. Perusahaan tersebut dimintai penghentian kegiatan agar diperiksa, dituntut, serta adanya tanggung jawab atas perbuatannya yang melawan hukum, dengan cara melakukan penambangan ilegal tanpa Izin dan merambah kawasan hutan .
Selain itu, Peti juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat sekitar. Kemudian karena tidak berizin, Peti mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya.
“Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” ujar Iqbal.
Iqbal berharap, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, wajib bekerja sama untuk menghentikan aktifitas penambangan ilegal yang merugikan negara, serta menimbulkan kerusakan lingkungan dan hutan.
Hal ini sesuai amanat dalam UU Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada Pasal 158 regulasi tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Lalu di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
“Ketiga perusahaan yang didugaenambang ilegal di IUP PT Antam tersebut, harus segera dihentikan demi hukum dan keadilan, serta demi negara atas pencurian dan perampokan sumber daya alam negeri yang kita cintai ini. Kami yakin KLHK dan Mabes Polri dapat segera menuntaskan kasus ini,” tutup Iqbal.